Kebiadaban zionis-Israel di Gaza dan tidak berdayanya negara-negara Arab, dunia Islam dan masyarakat Internasional menghentikan pembantaian di Gaza menyebabkan ingatan kita melayang pada Yasser Arafat, sang “founding fathers” Palestina.
Dilahirkan di Yerussalem pada bulan November 1929, Arafat tak pelak lagi merupakan simbol perjuangan rakyat Palestina dalam membebaskan diri dari pendudukan zionis Israel. Di masa mudanya, Arafat telah berjuang melawan Israel dengan bergabung pada tentara Mesir yang berperang dengan Israel pada perang tahun 1948 dan Perang Suez tahun 1956. Kemudian, Arafat sempat mengamalkan ilmunya sebagai insinyur dengan bekerja sebagai kontraktor di Kuwait sekaligus menggalang dana bagi perjuangan rakyat Palestina. Arafat bersama kawan-kawannya kemudian mendirikan Harakat al-Tahrir al Filistini (Fatah).
Fatah yang didirikan Arafat berkembang pesat dan mendominasi Palestine Liberation Organization (PLO), sebuah organisasi induk bagi kelompok-kelompok perjuangan rakyat Palestina. Fatah dan PLO terkenal dengan aksi-aksi terornya yang mencekam zionis Israel. Aksi-aksi teror tersebut berpuncak pada bulan September 1972, ketika sejumlah militan Palestina membunuh 11 atlet Israel pada Olimpiade Munich.
Setelah berpindah-pindah “medan gerilya” dari Yordania, Lebanon dan Tunisia, Arafat secara mengejutkan menghentikan segala aksi terornya dan memilih berdamai dengan Israel di Oslo, 1993. Bersama PM Israel Yitzhak Rabin, Arafat meraih Nobel Perdamaian di tahun 1994. Karena Perjanjian Oslo-lah, Arafat kembali ke Palestina dan memimpin pemerintahan Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Arafat kembali ke Palestina sebagai pahlawan, namun tak sedikit yang mencapnya sebagai “pengkhianat” dan “kolaborator”.
Namun, zionis Israel berulang kali melanggar kesepakatan Oslo. Pasca terbunuhnya PM Rabin dari Partai Buruh yang “moderat” oleh ekstrimis Yahudi yang tidak menginginkan perdamaian, pendulum politik Israel bergeser ke kanan dengan berkuasanya Benyamin Netanyahu dan Ariel Sharon dari Partai Likud yang radikal. Rezim Likud berulang kali memprovokasi rakyat Palestina dengan menodai kesucian Masjid Al Aqsa sehingga rakyat Palestina spontan melawan dengan “intifadah”. Pada periode inilah, Arafat dan Fatah mengalami krisis kepercayaan dari rakyat Palestina. Kompetitor Fatah, Hamas pun menjadi alternatif pilihan rakyat Palestina yang berpuncak pada kemenangan Hamas atas Fatah pada Pemilu Parlemen di bulan Januari 2006, setahun lebih pasca meninggalnya Arafat di Perancis.
Hamas bahkan sejak 2007 telah mengambil alih Jalur Gaza dari aparat pemerintahan Otoritas Palestina yang loyal pada Fatah. Politik Hamas berbeda dengan Fatah yang sudah lelah berperang dan cenderung mengedepankan diplomasi dan perundingan. Hamas belum mau berkompromi dengan zionis-Israel dan memilih terus melancarkan perlawanan atas Israel. Sikap non kompromi Hamas yang terus melancarkan roket ke Israel pun dijadikan dalih oleh Israel untuk melakukan agresi Israel ke Gaza. Makin dekatnya Pemilu Israel di awal Februari 2009 juga menjadi alasan tersirat pemerintah Israel yang didominasi aliansi kiri-tengah (Partai Buruh dan Kadima) untuk menginvasi Gaza. Koalisi Partai Buruh-Kadima berharap bisa meraih simpati mayoritas rakyat Israel yang konservatif dengan menyerang Gaza. Selama ini rakyat Israel menganggap koalisi Partai Buruh –Kadima terlalu lembek terhadap Hamas, berbeda denga Partai Likud yang ultranasionalis dan tegas terhadap Hamas.
Kini, di awal 2008, rakyat Gaza harus berjibaku meregang nyawa akibat agresi membabibuta Israel. Israel berdalih bahwa serangannya ke Gaza “hanya” untuk melumpuhkan Hamas. Namun, sudah lebih dari 500 warga Palestina gugur termasuk perempuan dan anak-anak. Walaupun Presiden Mahmoud Abbas sudah menyatakan “tidak perlu lagi berunding dengan Israel”, namun belum nampak aksi konkrit dari Fatah yang dipimpin Abbas untuk membantu Hamas di Gaza. Persatuan Hamas dan Fatah untuk berjuang bersama menghadapi agresi Israel tampaknya masih jauh dari harapan. Apalagi kita mengharapkan persatuan negara-negara Arab, antara Mesir, Yordania, Arab Saudi yang pro-Amerika Serikat di satu sisi dan Syria, Libya dan Iran yang anti AS di sisi yang lain.
Di tengah situasi chaotic di Gaza-Palestina inilah, kita teringat kembali figur Arafat –terlepas dari segala kelemahannya- yang telah mengorbankan dirinya dan bahkan kehidupan pribadinya demi rakyat Palestina. Seorang wartawan pernah bertanya kepada Arafat di usia 50-an, mengapa di usia itu, ia belum juga menikah. Jawaban Arafat sederhana namun bermakna dalam. “Saya telah menikah dengan gadis cantik bernama Palestina”. Namun, sejarah mencatat ketika akhirnya Arafat menikah di usia 60-an. Wartawan tadi kembali bertanya kepada Arafat, “Bukankah Anda (Arafat) pernah berkata bahwa Anda telah menikah dengan Palestina, namun mengapa kini Anda menikahi Suha Tawil?”. Jawaban Arafat pun mencerminkan karakternya sebagai politisi ulung. Arafat menjawab, “Istri pertama, kedua dan ketiga Saya tetap Palestina, Suha Tawil adalah istri keempat Saya”.
Kini, gadis “Palestina” tengah menangis di Gaza. Kita, bangsa Indonesia cuma bisa berada di tahap keempat dari penyelesaian konflik Palestina-Israel. Tahap pertama, Fatah, Hamas dan faksi Palestina lainnya bersedia bersatu. Tahap kedua, negara-negara Arab bersatu. Tahap ketiga, AS dan Eropa tiba-tiba “berbaik hati” pada Palestina. Tahap keempat barulah Indonesia dan negara-negara lainnya yang paling banter hanya bisa mengirim pasukan perdamaian dan bantuan kemanusiaan setelah tahap pertama hingga ketiga sudah terwujud.
0 komentar:
Posting Komentar